Penilaian secara otomatis menimbulkan perbandingan keadaan diri sendiri dengan orang lain dan muncullah ketidakpuasan, bahkan putus harapan. Kita selalu merasa kurang, selalu merasa betapa buruk keadaan kita karena kita menilai dan membandingkan. Dan kalau sudah ada penilaian dan perbandingan, tentu saja tidak ada yang sempurna di dunia ini.

Hasil pemikiran tentu saja tidak sempurna karena pikiran merupakan suatu sumber kekacauan dari konflik-konflik dan pertentangan-pertentangan antara baik buruk, untung rugi dan sebagainya. Bagi orang yang tidak menilai, tidak membandingkan, melainkan memandang dan mengamati segala sesuatu tanpa penilaian, tanpa perhitungan untung rugi, akan nampak bahwa tidak ada yang tidak sempurna pada alam semesta ini! Bagaimana mungkin hasil dari ulah dan perbuatan kita akan sempurna kalau kita sendiri penuh dengan benci, iri, dan pementingan diri sendiri?

Mari Merenungkan segala kehidupan yang lalu. Naluri mungkin membisikkan bahwa hidup kita yang lalu penuh dengan penyelewengan dan kejahatan. Sebagai manusia, tentu saja kita mempunyai kesadaran dan pengertian tentang baik buruk. Akan tetapi, selama kejahatan yang dilakukannya itu mendatangkan hasil baik dan mendatangkan kesenangan, mungkin kita tidak perduli dan seperti lupa bahwa yang dilakukan adalah jahat. Barulah, setelah perbuatan jahat itu mendatangkan suatu malapetaka yang menimpa diri, timbul penyesalan! Walaupun penyesalan itu belum tentu berarti mendatangkan perasaan bertaubat, melakukan lebih condong menyesali kegagalan atau malapetaka itu!

Pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan memang dapat menimbulkan kepalsuan-kepalsuan dalam batin kita. Kalau kita TAHU bahwa kita berbuat baik, maka pengetahuan ini saja sudah menyembunyikan suatu pamrih di balik perbuatan kita itu. Tahu tentang kebaikan tentu saja dirangkai dengan tahu bahwa kebaikan itu membuahkan suatu keuntungan! Sebaliknya,tahu tentang kejahatan disertai pengetahuan bahwa perbuatan jahat itu membuahkan keburukan dan kerugian kepada kita. Dengan demikian, kita BERUSAHA untuk melakukan kebaikan, tentu saja karena tahu bahwa hal itu akan mendatangkan keuntungan bagi kita. Kita memaksa diri tidak mau melakukan kejahatan dengan pengetahuan bahwa hal itu akan mencelakakan kita sendiri. Jelaslah bahwa pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan ini dapat mendorong kita untuk menjadi munafik, untuk menjadikan perbuatan kita palsu dan tidak wajar!

Tentu saja bukan maksud kita untuk mengabaikan pengetahuan tentang baik dan jahat. Akan tetapi kita harus mengenal dasar dari perbuatan kita sendiri, mengenal watak-watak palsu kita sendiri dengan cara pengamatan terhadap diri sendiri, setiap kali kita berbuat, setiap kali kita bicara, setiap kali kita berpikir. Amat jauh bedanya antara perbuatan baik yang kita sadari dengan perbuatan apapun juga yang kita lakukan dengan dasar cinta kasih! Jika ada sinar cinta kasih menerangi sikap dan perbuatan kita, maka perbuatan itu wajar, kita lakukan tanpa penilaian baik ataukah buruk dan yang sudah pasti sekali, segala perbuatan yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, seperti matahari menyinarkan cahayanya, seperti bunga menyiarkan keharuman dan keindahannya, seperti ibu menyusui anaknya, maka perbuatan itu adalah suci!

 

“Alangkah cantiknya duniaku!

Langit biru terhias awan bergumpal-gumpal

Itulah atap rumahku!

Pohon-pohon berdaun hijau

berbunga aneka warna

Itulah dinding rumahku!

Tanah segar dengan babut rumput hijau

Itulah lantai rumahku….!”